Para sosiolog melaksanakan penelitian mobilitas sosial untuk mendapatkan keterangan tentang keteraturan dan keluwesan struktur sosial. Para sosiolog mempunyai perhatian yang khusus kepada kesulitan yang secara relatif dialami oleh individu dan kalangan sosial dalam menerima kedudukan yang terpandang oleh masyarakat.
Semakin sepadan potensi untuk mendapatkan kedudukan tersebut, akan kian besar mobilitas sosial. Hal itu mempunyai arti bahwa sifat metode lapisan penduduk kian terbuka. Pada masyarakat berkasta yang bersifat tertutup, nyaris tidak ada gerak sosial yang bersifat vertikal alasannya kedudukan seseorang sudah diputuskan sejak dilahirkan.
Pekerjaan yang dilakukan, pendidikan yang diperoleh, dan seluruh contoh-contoh hidupnya sudah dikenali sejak beliau dilahirkan, karena struktur sosial masyarakatnya tidak menunjukkan kesempatan untuk mengadakan pergantian.
Dalam tata cara lapisan terbuka, semua kedudukan yang hendak diraih diserahkan pada perjuangan dan kemampuan si individu. Memang benar, bahwa anak seorang pengusaha memiliki kesempatan yang lebih baik dan lebih besar daripada anak seorang tukang sapu di jalan.
Akan namun, kebudayaan di masyarakat kita tidak menutup kemungkinan bagi anak tukang sapu untuk menemukan kedudukan yang lebih tinggi ketimbang kedudukannya yang dimiliki semula. Bahkan sebaliknya, sifat terbuka dalam sistem lapisan, mampu mendorong dirinya untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi dan lebih terpandang dalam masyarakat.
Dalam masyarakat senantiasa ada kendala dan kesulitan, contohnya birokrasi yang berbelit-belit, ongkos, dan kepentingan yang tertanam dengan berpengaruh. Pengaruh mobilitas sosial, baik secara horizontal maupun secara vertikal, lazimnya menenteng balasan-balasan tertentu yang bersifat kasatmata maupun yang bersifat negatif terhadap pelakunya. Pengaruh faktual adanya mobilitas sosial vertikal, di antaranya selaku berikut.
- Keberhasilan yang dicapai seseorang, yang dijalankan lewat perjuangan, diharap kan bisa mendorong anggota masya rakat lainnya untuk menggandakan kesuksesan yang sudah diraih oleh orang tersebut.
- Suatu kedudukan yang bagus, tidak diperoleh dengan gampang namun dengan usaha, keuletan, dan jerih payah. Begitu pula perlu ditanamkan perjuangan hidup untuk menyongsong hari esok yang lebih baik.
- Tidak sedikit orang yang berhasil karena pendidikan. Dengan pendidikan, diperlukan kedudukan seseorang menjadi lebih baik. Kebutuhan akan pentingnya pendidikan diharapkan diturunkan oleh orangtua kepada anak-anaknya dan orang lain.
- Kegagalan yang ditemukan bukan simpulan dari segalanya, melainkan sebagai pengalaman berharga untuk bangkit kembali dengan memperbaiki setiap kesalahan yang pernah dilaksanakan.
Keberhasilan yang dicapai sebagai mobilitas sosial vertikal, tidak selamanya menenteng kebahagiaan bagi pelaku pergantian. Adakalanya hal tersebut dapat menimbulkan konflik antarkelas sosial, golongan sosial, dan antargenerasi.
Pelaku mobilitas sosial pun harus mampu menyesuai kan diri dengan kondisi yang telah dicapainya. Berikut ini konsekuensi yang mungkin timbul dari adanya mobilitas sosial.
1. Munculnya Konflik
Keberhasilan yang dicapai dalam memperoleh kedudukan bagi seseorang atau kalangan, tidak mungkin tanpa adanya perasaan tidak senang dari orang atau kalangan lain. Hal itu mampu memajukan kontradiksi antara yang sukses men dapatkan kedudukan dengan yang tidak sukses atau yang merasa tergeser oleh orang yang menempati kedudukan gres. Berikut ini macam-macam konflik yang mungkin terjadi dalam kehidupan sosial.
a. Konflik Antarkelas Sosial
Pertentangan mampu terjadi jika seseorang dari lapisan sosial bawah menduduki posisi di lapisan menengah atau atas, lalu golongan lapisan sosial yang didatangi merasa terusik, jadinya terjadi kontradiksi. Misalnya selaku berikut.
1) Amir anak seorang pengemudi becak sukses menjadi penjualyang kaya dan mempunyai kedudukan yang terhormat di penduduk . Hal yang demikian kadangkala menjadikan ketidaksenangan dari mereka yang sudah lebih dahulu berada pada lapisan menengah sehingga Amir perlu untuk meredam kontradiksi dengan cara menyesuaikan diri kepada keadaan kelas atau lapisan sosial yang baru.
2) Pertentangan kelas dapat pula disebabkan oleh mobilitas sosial vertikal yang menurun, misalnya bapak X seorang pebisnis kaya mengalami kebangkrutan dalam usahanya. Apabila perilaku sosial bapak X sebelum gulung tikar tidak diterima oleh lapisan bawah alasannya arogan dengan kekayaannya maka sehabis bapak X berada di kelas bawah menjadi terasing di lingkungan sosialnya.
3) Perkawinan yang terjadi pada penduduk yang memiliki sistem sosial tertutup atau masyarakat yang memberlakukan sistem kasta. Seseorang dari kasta rendah kawin dengan orang yang berasal dari kasta lebih tinggi alasannya adalah perkawinan menyebabkan kedudu kan nya terangkat dari sebelumnya. Hal inipun mampu mengakibatkan ketidaksenangan dari lapisan masyarakat yang dihadiri, dan dianggap mengotori atau mengusik keutuhan kasta yang lebih tinggi.
4) Karyawan di sebuah pabrik selaku tulang punggung industri, menuntut kenaikan honor dan akomodasi lain yang dianggap tidak dapat menjamin untuk hidup layak. Oleh alasannya adalah itu, karyawan yang ialah lapisan bawah dalam perekonomian menuntut hak yang mesti diterimanya kepada pebisnis (atau orangorang yang mengendali kan dan memilih kebijaksanaan perusahaan).
b. Konflik Antarkelompok Sosial
Pertentangan yang terjadi pada golongan sosial, tidak jauh berbeda dengan konflik pada kelas atau lapisan sosial. Konflik yang dilakukan oleh kelas sosial berbentukorang individual, namun pertentangan pada golongan sosial berbentukkumpulan orang yang melaksanakan pertentangan. Misalnya sebagai berikut.
- Kelompok dominan apabila berada di bawah kalangan minoritas dalam menguasai perekonomian maka akan mengakibatkan saling meragukan, merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperoleh kalangan minoritas.
- Keberhasilan yang dicapai oleh kalangan tertentu akan menyebab kan kekecewaan golongan lain sehingga mereka menuntut persamaan hak.
c. Konflik Antargenerasi
Situasi sosial mirip pergaulan, pendidikan, zaman, teknologi yang dialami oleh seorang anak akan berbeda dengan situasi sosial orangtuanya. Perbedaan ini akan membawa kontradiksi kalau kedudukan anak sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan orangtuanya. Pertentangan ini tidak senantiasa terjadi dengan orangtuanya sajatetapi mampu juga dengan orang lain yang lebih renta. Misalnya:
1) Di suatu kantor seorang perjaka berusia 20 tahun mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan orang lain yang ada di sekelilingnya yang rata-rata berusia 45 tahun ke atas sehingga perjaka yang bersangkutan mesti memimpin orangorang yang usianya jauh lebih tinggi sebagai bawahannya.
Tidak sedikit di antara mereka merasa digurui oleh anak yang lebih muda. Hal ini menjadikan terjadinya pertentangan antargenerasi dan akan terus berlanjut bila tidak adanya kesadaran di antara mereka untuk saling mengetahui perilaku dan tindakan masing-masing.
2) Nasihat yang baik tidak senantiasa datang dari orangtua, adakalanya pesan yang tersirat datang dari anak muda. Akan namun, orangtua jarang mendapatkan pesan tersirat yang tiba dari anak muda yang usianya jauh di bawah usia orangtua alasannya adalah dianggap menggurui, tidak pantas, dan tidak sopan.
Orangtua yang demikian memiliki perilaku yang konservatif (terbelakang) tidak terbuka kepada keadaan zaman yang sudah berubah. Anak muda dengan kesanggupan dan pendidikannya dapat melakukan mobilitas vertikal sehingga mempunyai kedudukan yang lebih baik dibandingkan dengan orangtua.
2. Adaptasi kepada Mobilitas Sosial
Setiap mobilitas sosial yang telah dikerjakan membutuhkan pembiasaan diri biar tidak senantiasa terasing dengan suasana yang gres. Jika seseorang atau golongan tidak dengan cepat mengikuti keadaan dengan situasi dari hasil mobilitas sosial tersebut, yang bersangkutan dianggap ketinggalan, lebih tepatnya disebut ketinggalan kebudayaan (culture lag).
Kedudukan kelas sosial yang lebih tinggi mampu saja diraih, namun perilaku yang tidak cocok dengan kedudukan atau kelas sosial yang gres telah dikerjakan? Dalam hal ini, akan lebih tepat kalau kita sebut selaku kebudayaan adaptif yang artinya pembiasaan kebudayaan.
Kebiasaan dan tindakan manusia yang dimiliki seseorang sesuai dengan kedudukan pada kelas atau lapisan sosialnya. Hal ini merupakan bab dari kebudayaan lapisan sosial yang bersangkutan. Kebudayaan adalah keseluruhan pola lahir dan batin yang memungkinkan terjadinya korelasi sosial di antara anggota-anggota masyarakat.
Kedudukan yang dicapai seseorang dapat dianggap sebagai kebudayaan gres yang mesti dihadapi oleh orang yang melakukan mobilitas sosial sehingga yang bersangkutan mesti beradaptasi dengan meninggalkan kebudayaan lama sebelum kedudukannya berubah.
Penyesuaian diri atau adaptasi terhadap kebudayaan materiil seperti benda-benda dan hasil karya manusia mudah untuk dikerjakan atau dengan sendirinya akan dimiliki oleh orang yang kedudukannya meningkat.
Akan tetapi, perilaku, perilaku, dan ke biasaan seseorang akan sulit untuk berganti. Seseorang perlu menyesuaikan diri dengan kedudukannya tersebut dan memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyesuaikan diri.
Berikut ini beberapa pergantian yang disebabkan oleh mobilitas sosial sehingga kedudukan seseorang berkembangke jenjang yang lebih tinggi, tetapi perilaku dan sikap lambat menyesuaikan diri.
- Orang kaya yang melarat dan menjadi miskin, namun perilaku dan kebiasaannya seolah-olah tetap kaya. Misalnya, bapak B seorang pengusaha yang kaya mengalami kegagalan usahanya (bangkrut) kemudian jatuh miskin, dalam kehidupan sehari-hari senantiasa ingin dihormati oleh orang sekelilingnya dan masih senantiasa memerintah orang lain mirip terhadap bawahannya.
- Seorang sarjana, di wilayahnya sebagai pemuka masyarakat dan yang notabene senantiasa rasional sering dihormati oleh warga, tetapi ia sering meminta kekuatan dan pesan yang tersirat dukun semoga setiap orang tunduk kepadanya. Seseorang terkadang bertingkah tidak cocok dengan kedudukannya.
Hal ini hanya sikap seperti yang dicontohkan tersebut. Perilaku orang tersebut karenanya dianggap selaku orang yang ketinggalan kebudayaan (culture lag)